![]() |
| Alfira Oktaviani (dua dari kiri) bersama ibu-ibu pengrajin ecoprint di Semilir Ecoprint Yogyakarta.(Foto: Astra Indonesia) |
Di sebuah rumah di Donoharjo, Sleman, aroma daun kering dan kulit kayu yang baru direbus berpadu dengan semilir angin yang menyejukkan. Di atas meja kayu sederhana, beberapa lembar kain kecokelatan tampak dijemur di bawah matahari. Di permukaannya, motif dedaunan menempel alami, seolah alam sedang melukis dengan caranya sendiri.
Di tengah kesibukan itu, Alfira Oktaviani, seorang perempuan berwajah teduh dengan jemari penuh noda warna alami, tampak tersenyum kecil. Ia sedang mengelus lembaran kulit kayu Lantung (warisan budaya Bengkulu) yang kini hidup kembali dalam wujud baru: ecoprint.
“Saya hanya ingin budaya ini tidak hilang, tapi juga tidak merusak alam,” ujarnya pelan, namun matanya berbinar yakin.
Perempuan ini bukan sekadar pengrajin kain. Ia adalah penggagas Semilir Ecoprint, gerakan kecil dari Yogyakarta yang menautkan kembali hubungan antara manusia, budaya, dan alam. Sebuah gerak yang menyatu, berdampak, dan memberi harapan.
Dari Bengkulu ke Yogyakarta: Jejak Inspirasi dari Tanah Leluhur
Perjalanan Semilir Ecoprint tak dimulai dari laboratorium atau ruang pamer, melainkan dari perjalanan pulang kampung. Saat mudik ke Bengkulu, tanah kelahiran ayahnya, Alfira menemukan sesuatu yang sederhana namun berharga: kulit kayu lantung.
Awalnya ia hanya membawa oleh-oleh kulit kayu ini untuk dibagikan ke teman-temannya di Yogyakarta. Namun rasa ingin tahunya tumbuh ketika ia mengetahui bahwa kulit kayu lantung telah ditetapkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sebagai Warisan Budaya Takbenda Indonesia pada tahun 2015. Dari sanalah benih ide itu muncul; bagaimana jika warisan budaya ini bisa dihidupkan kembali dalam bentuk yang lebih modern, fungsional, dan ramah lingkungan?
![]() |
| Pengrajin kain lantung Bengkulu mengekstrak kulit Kayu Lantung dengan hati-hati untuk mendapat hasil terbaik tanpa merusak alam.(Foto: Instagram @semilir_ecoprint) |
Kulit kayu lantung, bagi masyarakat Bengkulu, bukan sekadar bahan alami. Ia adalah simbol ketangguhan. Pada masa perjuangan, masyarakat memanfaatkannya untuk kebutuhan sandang dan peralatan upacara adat. Kini, bahan itu masih digunakan dalam tradisi Tabot dan menjadi suvenir khas Bengkulu, meski bentuknya masih sederhana dan belum banyak dimodifikasi.
Bagi Alfira, di situlah tantangan sekaligus peluang muncul. Ia melihat ruang kosong yang belum tersentuh oleh inovasi: bagaimana mengawinkan nilai tradisional dengan tren fesyen berkelanjutan global.
Eksperimen dari Dapur Kecil: Membangun Mimpi di Tengah Keterbatasan
Tahun 2019 menjadi titik awal perjalanan eksperimen Alfira. Dengan latar belakang pendidikan farmasi dan apoteker dari Universitas Ahmad Dahlan, ia terbiasa dengan pendekatan ilmiah dan riset laboratorium. Pendekatan itulah yang kemudian ia terapkan pada proses ecoprint, sebuah teknik pewarnaan alami menggunakan daun, bunga, dan kulit kayu yang ramah lingkungan.
Ia memulai semuanya secara mandiri, membiayai eksperimen kecil dari tabungannya, dan mengumpulkan referensi dari jurnal penelitian. Tak ada mentor, tak ada laboratorium canggih. Hanya semangat belajar otodidak yang tak pernah padam.
“Banyak jurnal yang membahas pewarnaan alami, tapi tidak ada yang menyinggung tentang kulit kayu lantung. Saya mencoba mencari formula sendiri,” kenangnya.
Proses itu penuh kegagalan. Hasil cetakan daun sering tak menempel sempurna, warna memudar, dan tekstur kain rusak. Namun bagi Alfira, setiap kegagalan adalah petunjuk untuk langkah berikutnya. Ia terus mencoba, mengombinasikan suhu, waktu, dan komposisi bahan alami hingga akhirnya menemukan formula yang stabil pada tahun 2022.
Ketika pandemi membuat banyak usaha mikro terpuruk, Alfira justru memperkuat fondasi bisnisnya. Ia memanfaatkan waktu untuk belajar manajemen usaha dan digital marketing. Tak berhenti di situ, ia mengajukan proposal ke Program Fasilitasi Bidang Kebudayaan 2020 Kemdikbud RI dan berhasil mendapatkan dukungan pendanaan sebesar Rp106 juta.
Proses itu penuh kegagalan. Hasil cetakan daun sering tak menempel sempurna, warna memudar, dan tekstur kain rusak. Namun bagi Alfira, setiap kegagalan adalah petunjuk untuk langkah berikutnya. Ia terus mencoba, mengombinasikan suhu, waktu, dan komposisi bahan alami hingga akhirnya menemukan formula yang stabil pada tahun 2022.
Ketika pandemi membuat banyak usaha mikro terpuruk, Alfira justru memperkuat fondasi bisnisnya. Ia memanfaatkan waktu untuk belajar manajemen usaha dan digital marketing. Tak berhenti di situ, ia mengajukan proposal ke Program Fasilitasi Bidang Kebudayaan 2020 Kemdikbud RI dan berhasil mendapatkan dukungan pendanaan sebesar Rp106 juta.
“Fasilitasi ini sangat berarti. Saya jadi bisa melakukan riset mendalam tentang asal-usul kulit kayu lantung, dokumentasinya, dan tentu mengembangkan produk secara lebih serius,” ujarnya.
Mengangkat Warisan Lokal ke Panggung Nasional
| Produk kreasi ecoprint dari workshop Semilir Ecoprint milik Alfira Oktaviani.(Foto: Astra Indonesia) |
Dengan dukungan riset dan fasilitas, Semilir Ecoprint berkembang menjadi usaha kecil yang berorientasi pada inovasi dan keberlanjutan. Ia tak hanya menjual produk, tapi juga membawa narasi budaya di setiap lembar kainnya.
Alfira menegaskan, storytelling produk adalah kunci agar masyarakat memahami nilai di balik sebuah karya. “Saya ingin tahu siapa pembuat kulit kayu lantung, bagaimana prosesnya, dan mengapa bahan ini penting bagi masyarakat Bengkulu. Cerita itu harus disampaikan kepada konsumen agar mereka merasa memiliki bagian dari budaya itu,” katanya.
Pada tahap produksi, Alfira menggaet Balai Besar Kerajinan dan Batik (BBKB) Kementerian Perindustrian untuk melakukan uji laboratorium terhadap material dan warna alami. Hasilnya, ia berhasil memperoleh sertifikasi produk kulit kayu lantung ecoprint yang membuktikan keamanan dan kualitas bahan alami yang digunakan.
Kolaborasi juga menjadi kunci. Ia membangun hubungan dengan petani kulit kayu di Desa Papahan, Kaur, Bengkulu Selatan, membeli bahan langsung dari mereka tanpa melalui tengkulak. Cara ini bukan hanya meningkatkan transparansi rantai pasok, tetapi juga membantu menyejahterakan ekonomi masyarakat setempat.
“Di desa ini, saya bisa menunjukkan ke konsumen bahwa produk kami benar-benar memiliki akar. Petani mendapat keuntungan yang lebih adil, dan lingkungan tetap terjaga karena kami tidak melakukan eksploitasi berlebihan,” jelasnya.
Seni, Sains, dan Keberlanjutan
![]() |
Berbagai motif alam hasil ecoprint ramah lingkungan kreasi Semilir Ecoprint, Sleman, Yogyakarta. (Foto: Instagram @semilir_ecoprint) |
Dalam setiap proses produksi Semilir Ecoprint, seni dan sains berpadu dengan harmonis. Teknik pewarnaan alami (natural dye) yang digunakan Alfira tak hanya indah secara visual, tetapi juga aman bagi lingkungan. Ia menyadari bahwa industri fesyen adalah salah satu penyumbang limbah terbesar di dunia, dan solusi harus dimulai dari skala terkecil.
“Kain Lantung ini kan terbuat dari kulit pohon, jika dieksploitasi berlebihan bisa merusak alam. Oleh karena itu, kami harus menghadirkan inovasi dan memang produksi secara terbatas agar tidak berdampak negatif terhadap lingkungan,” ujarnya.
Konsistensi Alfira dalam menjaga prinsip keberlanjutan membuahkan hasil. Tahun 2022, Alfira Oktaviani meraih penghargaan SATU Indonesia Award dari Astra International untuk kategori wirausaha. Penghargaan itu menjadi pengakuan nasional atas dedikasinya dalam mengembangkan usaha kreatif yang berpihak pada budaya dan lingkungan.
“Setelah menerima apresiasi ini, kami akan terus mengedepankan tiga pilar kami: mempromosikan budaya Indonesia dalam setiap produk, berkolaborasi dan terus meng-empower masyarakat, serta menerapkan konsep sustainable ke depan,” ujarnya tegas.
Dari Bengkel ke Komunitas: Membangun Ekosistem Kreatif
![]() |
| Alfira sedang mendemostrasikan teknik ecoprint di workshopnya, Sleman, Yogyarkata. (Foto: Instagram @Semilir_ecoprint) |
Kini, Semilir Ecoprint tak hanya menjadi merek dagang, tetapi juga wadah belajar. Setiap bulan, Alfira mengadakan workshop ecoprint dan pewarnaan alami yang diikuti peserta dari berbagai daerah di Indonesia. Dari pelajar, ibu rumah tangga, hingga pegiat fesyen datang untuk belajar langsung tentang prinsip slow fashion dan keberlanjutan.
Ia juga memberdayakan tetangga di sekitar rumah produksinya. “Saya merangkul beberapa tetangga yang tidak memiliki kesibukan untuk bergabung dengan Semilir. Saat ada produksi besar, mereka ikut membantu, dan peserta workshop bisa melihat prosesnya secara langsung,” tuturnya.
Model pemberdayaan ini memperlihatkan bagaimana usaha mikro dapat menjadi pusat inovasi sosial. Alfira tak hanya menciptakan produk, tapi juga ekosistem pembelajar yang menanamkan kesadaran ekologis di kalangan masyarakat.
Menenun Masa Depan Fesyen Indonesia
![]() |
Batik kolaborasi Cenderamata Astra dan @semilir_ecoprint memadukan budaya Indonesia dengan sentuhan modern menciptakan gaya yang penuh makna.(Foto: Instagram @cenderamata.astra) |
Dalam lanskap industri fesyen yang didominasi oleh fast fashion, langkah Alfira adalah bentuk perlawanan halus namun bermakna. Ia percaya bahwa sustainable fashion bukan sekadar tren, melainkan bentuk tanggung jawab terhadap bumi dan generasi mendatang.
Ke depan, ia berencana memperluas jangkauan Semilir Ecoprint dengan membuka ruang kolaborasi bersama desainer muda dan akademisi. “Kami ingin menjadikan ecoprint kulit kayu lantung sebagai simbol kolaborasi antara inovasi, budaya, dan keberlanjutan,” katanya.
Perjalanan Alfira menunjukkan bahwa inovasi tidak selalu harus lahir dari modal besar. Kadang, ia tumbuh dari rasa ingin tahu, cinta pada budaya, dan kepedulian terhadap lingkungan. Dari lembaran kain ecoprint yang ditiup angin di halaman rumahnya, Alfira tengah menulis babak baru dalam sejarah fesyen Indonesia; lebih beretika, lebih lestari, dan lebih bermakna.
Semilir yang Menyebarkan Inspirasi
![]() |
Alfira Oktaviani pemenang SATU Indonesia Awards 2022 dan pendiri Semilir Ecoprint. (Foto: Instagram @semilir_ecoprint) |
“Semilir” dalam bahasa Indonesia berarti angin sepoi-sepoi, lembut, tapi memberi kesejukan. Nama itu bukan sekadar metafora, melainkan cerminan filosofi hidup Alfira: bergerak pelan, tapi memberi dampak luas.
Di tengah derasnya arus produksi massal, Semilir Ecoprint mengingatkan bahwa keindahan sejati terletak pada keseimbangan antara manusia dan alam. Dan dari tangan-tangan yang bekerja dengan cinta itu, Indonesia menemukan kembali semiliran angin perubahan yang membawa pesan bahwa inovasi sejati adalah ketika budaya dan lingkungan berjalan seiring. (*)
#SatukanGerakTerusBerdampak #KitaSATUIndonesia #APA2025-PLM
Sumber rujukan informasi
- Wawancara melalui telepon dengan Alfira Oktaviani
- https://www.tempo.co/gaya-hidup/tokoh-inspiratif-alfira-oktaviani-membangun-semilir-ecoprint-usung-konsep-ramah-lingkungan-44414
- https://timesindonesia.co.id/gaya-hidup/469505/semilir-ecoprint-melestarikan-budaya-dan-lingkungan-melalui-keindahan-motif-alam
- https://www.tempo.co/gaya-hidup/profil-alfira-oktaviani-pendiri-semilir-ecoprint-kenalkan-produk-fesyen-dari-kulit-kayu-lantung-44403
- https://kumparan.com/kumparanbisnis/semilir-ecoprint-bauran-keindahan-dan-kelestarian-dalam-teknik-ramah-lingkungan-20dYJ1irPim







16 Komentar
Mantap. Keren keren motifnya. Baru tahu ada kayu lantung ini. Ternyata ada makna yang tersembunyi dibalik nama kayu ini.....
BalasHapusSalah satu kain otentik bersejarah yang punya banyak makna dan cerita sejarah di baliknya -- Kain Kayu Lantung Bengkulu.
HapusKeren banget inisiatifnya! Ecoprint dari Bengkulu ini bukan cuma karya seni, tapi juga bentuk pelestarian alam dan budaya lokal. Salut buat para pengrajin yang terus berinovasi dengan bahan alami.
BalasHapusDedikasi dan ketekunan memperkenalkan dan menjaga budaya bangsa.
HapusKisah Alfira disajikan dengan detail, mulai dari perjalanan pribadinya (latar belakang farmasi dan apoteker) hingga keberaniannya memulai eksperimen mandiri yang penuh kegagalan. Sepintas seperti bertolak belakang. Tapi latar belakang pendidikannya justru termasuk mendukung usahanya karena terbiasa dengan riset.
BalasHapusIni memberikan perspektif bahwa inovasi membutuhkan ketekunan, ilmu pengetahuan, dan cinta terhadap budaya. Bagian ini sangat menginspirasi, terutama bagi pembaca yang ingin memulai usaha berbasis budaya dan lingkungan. Keren!
Betul sekali, lata belakang pendidikan farmasi dan apoteker menjadi pondasi riset yang banyak sekali membantu proses pengembangan kain kayu lantung. Hal itu kemudian diimbangi dengan ketekunan dan semangat untuk mengenalkan dan mengembangkan warisan budaya ini ke audiens yang lebih luas lagi.
HapusInformasi ecoprint Dari bahan kayu Lantung menarik, karena saya pribadi sedang belajar eksplorasi ecoprint pada kain dari berbagai bahan daun masih belum ketemu formula yang pas.
BalasHapusSemangat dan semoga bisa segera menemukan formulasi ecoprint terbaik, kak.
HapusSalut sama Mbak Alfira yang bawa kearifan lokal Bengkulu (Kulit Kayu Lantung) ke level baru lewat ecoprint di Jogja. 🌿✨ Gak cuma soal kain, ini tentang storytelling budaya, riset ilmiah (farmasi meets fashion!), dan sustainable living yang nyata banget. Inspiratif! Semoga "Semilir" ini terus menghembuskan inovasi, kolaborasi, dan dampak positif ke banyak orang. Kesejukan yang dibawa pelan, tapi dampaknya luas! Sukses terus!
BalasHapusLihat kainnya lho kok keren yaaa.. cakep² banget. Selain itu bahan alami yang dipakai pun tidak akan menyakiti bumi.
BalasHapusBangga lho ada pemuda-pemudi yang inovasinya keren tapi tetep minim limbah. Bukan nggak mungkin, di tangan orang yang tepat, warisan budaya tetap bisa bersinergi dengan modernitas. ❤️❤️❤️
Untuk mendapatkan satu kain yang cantik, ternyata butuh proses yang panjang dan (agak)rumit ya mengingat yang digunakan adalah bahan alami.
BalasHapusTapi hebat loh bisa konsisten sampai bertahun-tahun dan masih eksis sampai sekarang
Memang sangat kreatif ya si mbaknya ini. Pun, bisa memberdayakan warga sekitarnya pula. Layak banget menerima penghargaan SATU Indonesia Award dari astra.
BalasHapuskeren banget bisa jadi berbagai produk ya. aku suka totebagnya jadi baguuss dan yang pasti nggak bakalan ada yang ngebarin wkwk
BalasHapusWih keren, produknya gak cuma kain/ baju tetapi juga produk2 lain, bervariasi yaa.
BalasHapusPemilihan nama batiknya juga keren nih filosofi di baliknya, Semilir.
Dulu aku pikir ecoprint cuma nyetak2in warna pakai daun, ternyata gak semudah itu yaaa Ferguso hahaha. Kudu sungkem nih sama Mbak Alfira,
Semoga sukses nih rencana mendatang berkolaborasi dengan akademisi dan desainer sehingga kain ecoprint-nya jadi lebih ok lagi mutunya dan makin banyak disukai. Hal paling penting makin banyak orang jadi mau belajar juga soal kain ini ya.
Inovasi ecoprint dari Bengkulu ini keren banget, menunjukkan bagaimana kreativitas bisa berjalan seiring dengan kepedulian lingkungan. Semoga makin banyak generasi muda yang terinspirasi untuk mengangkat potensi lokal dengan cara berkelanjutan.
BalasHapusAku baru tahu soal kulit kayu lantung ini. Keren ya, Mbak Alfira bisa dapat inspirasi budaya dan dengan sabar menjalani. Banyak kegagalan tapi tetap optimis.
BalasHapusAnda bebas berkomentar selama tidak mengandung unsur SARA dan PORNOGRAFI. Selamat berbagi pendapat dan berdiskusi di kolom komentar ini.
Orang baik berkomentar dengan baik.
Jadilah komentator yang baik.