Paradoks Mobil Mewah, Benarkah Kita Membutuhkannya?
Mobil Bagus, Tapi Siapa yang Ada di Dalamnya Tak Pernah Dilihat
Banyak orang percaya, punya mobil adalah tanda kita telah sampai.
Tanda kesuksesan.
Tanda bahwa kita telah "jadi orang".
Orang-orang melihatnya dari jauh.
Mobil itu mengilap. Mewah.
Baru keluar dari showroom.
Dan semua orang memalingkan kepala.
Tapi mereka tidak pernah melihat siapa yang duduk di dalamnya.
Tidak pernah benar-benar tahu siapa yang memegang setir.
Tidak peduli.
Yang dilihat hanya mobilnya.
Bukan kita.
Bukan wajah kita.
Bukan cerita kita.
Bukan perjuangan kita.
Apalagi luka-luka yang kita sembunyikan sambil menyetir dalam diam.
Kita percaya bahwa memiliki mobil yang bagus akan membuat kita terlihat lebih tinggi.
Lebih hebat.
Lebih dihormati.
Padahal, seringkali yang dihormati bukanlah kita—tapi benda yang kita miliki.
Kita menyicil pengakuan.
Kita bayar harga untuk rasa dianggap.
Dan ironinya?
Di dalam mobil yang tertutup rapat itu, kita makin tak terlihat.
Makin sunyi.
Makin asing di tengah keramaian.
Inside a car paradox.
Mobil membuat kita terlihat, sekaligus tak terlihat.
Mobil memberi kita panggung, tapi kita hanya jadi figuran dari benda yang lebih mencolok.
Kita pikir kita sedang naik kelas.
Padahal kita hanya sedang bersembunyi.
Bukan kenyamanan yang kita cari.
Tapi validasi.
Pengakuan.
Pujian diam-diam.
Dan karena itulah, mobil tidak hanya membawa tubuh kita ke tempat tujuan,
tapi juga membawa ego kita ke tempat yang ingin dilihat orang lain.
0 Komentar
Anda bebas berkomentar selama tidak mengandung unsur SARA dan PORNOGRAFI. Selamat berbagi pendapat dan berdiskusi di kolom komentar ini.
Orang baik berkomentar dengan baik.
Jadilah komentator yang baik.