Pernah nggak sih kamu merasa capek karena harus selalu kelihatan “beres”? Hidup rapi, karier naik, hubungan stabil, keuangan aman. Seolah-olah semua aspek hidup harus sempurna di waktu yang bersamaan.
Padahal kenyataannya, hidup jarang banget mau diajak rapi. Selalu ada saja yang kurang, meleset, atau belum sesuai harapan.
Di kelas X, saat mengajar mata pelajaran Sosiologi, saya sering memulai pelajaran dengan kalimat yang agak memancing reaksi.
Di kelas X, saat mengajar mata pelajaran Sosiologi, saya sering memulai pelajaran dengan kalimat yang agak memancing reaksi.
“Perempuan itu makhluk yang lemah, karena itu mereka selalu membutuhkan kepastian.”
Biasanya, kelas langsung ramai. Ada yang protes, ada yang ketawa kecil, ada juga yang langsung pasang muka serius.
Tenang, itu bukan opini pribadi. Itu cuma pintu masuk untuk diskusi yang lebih panjang. Kepastian dalam hubungan, karier, bahkan ekonomi, sejatinya bukan cuma kebutuhan perempuan, tapi manusia secara umum. Kita semua ingin merasa aman. Kita semua ingin tahu bahwa apa yang kita jalani hari ini punya arah yang jelas.
Daripada menjelaskan teori-teori sosiologi dengan nama tokoh dan tahun lahirnya, saya lebih suka bercerita. Karena dari cerita, siswa lebih mudah paham bahwa sosiologi itu bukan ilmu hafalan. Ini ilmu hidup. Ilmu tentang bagaimana manusia bertahan, beradaptasi, dan saling bergantung satu sama lain di tengah masyarakat.
Sosiologi itu jauh lebih terasa manfaatnya dalam praktik daripada sekadar teori. Kita belajar bahwa manusia tidak pernah benar-benar berdiri sendiri. Kita selalu menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar.
Di sinilah saya sering mengutip pemikiran fungsionalisme struktural punya Émile Durkheim. Menurutnya, masyarakat adalah sistem kompleks yang bagian-bagiannya saling terhubung dan bekerja sama, mirip seperti organ-organ dalam tubuh manusia.
Tenang, itu bukan opini pribadi. Itu cuma pintu masuk untuk diskusi yang lebih panjang. Kepastian dalam hubungan, karier, bahkan ekonomi, sejatinya bukan cuma kebutuhan perempuan, tapi manusia secara umum. Kita semua ingin merasa aman. Kita semua ingin tahu bahwa apa yang kita jalani hari ini punya arah yang jelas.
Daripada menjelaskan teori-teori sosiologi dengan nama tokoh dan tahun lahirnya, saya lebih suka bercerita. Karena dari cerita, siswa lebih mudah paham bahwa sosiologi itu bukan ilmu hafalan. Ini ilmu hidup. Ilmu tentang bagaimana manusia bertahan, beradaptasi, dan saling bergantung satu sama lain di tengah masyarakat.
Sosiologi itu jauh lebih terasa manfaatnya dalam praktik daripada sekadar teori. Kita belajar bahwa manusia tidak pernah benar-benar berdiri sendiri. Kita selalu menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar.
Di sinilah saya sering mengutip pemikiran fungsionalisme struktural punya Émile Durkheim. Menurutnya, masyarakat adalah sistem kompleks yang bagian-bagiannya saling terhubung dan bekerja sama, mirip seperti organ-organ dalam tubuh manusia.
Artinya, Jantung tidak harus bisa bernapas. Paru-paru tidak harus bisa mencerna makanan. Tapi semuanya tetap penting karena saling melengkapi.
Kalimat yang sering saya ulang ke siswa adalah ini: kita tidak perlu menjadi sempurna. Kita hanya perlu memahami di bagian mana kita bisa berkontribusi. Di celah mana kehadiran kita dibutuhkan.
Masalahnya, hidup di era sekarang bikin konsep “cukup” jadi terasa asing. Media sosial penuh dengan standar ideal. Karier usia 25 harus mapan. Umur 30 harus stabil secara finansial. Hubungan harus selalu terlihat harmonis. Kalau ada satu saja yang tertinggal, rasanya kita gagal total.
Padahal, rasa tidak pernah puas itu bukan sepenuhnya kesalahan kita. Ada penjelasan ilmiahnya. Peneliti dalam Review of General Psychology menyebutkan bahwa jika manusia bisa merasa puas secara permanen, mungkin tidak akan ada dorongan untuk berkembang dan mencari kemajuan. Kita hanya akan tetap di situ-situ aja. Tidak pergerakan. Tidak ada perkembangan.
Kalimat yang sering saya ulang ke siswa adalah ini: kita tidak perlu menjadi sempurna. Kita hanya perlu memahami di bagian mana kita bisa berkontribusi. Di celah mana kehadiran kita dibutuhkan.
Masalahnya, hidup di era sekarang bikin konsep “cukup” jadi terasa asing. Media sosial penuh dengan standar ideal. Karier usia 25 harus mapan. Umur 30 harus stabil secara finansial. Hubungan harus selalu terlihat harmonis. Kalau ada satu saja yang tertinggal, rasanya kita gagal total.
Padahal, rasa tidak pernah puas itu bukan sepenuhnya kesalahan kita. Ada penjelasan ilmiahnya. Peneliti dalam Review of General Psychology menyebutkan bahwa jika manusia bisa merasa puas secara permanen, mungkin tidak akan ada dorongan untuk berkembang dan mencari kemajuan. Kita hanya akan tetap di situ-situ aja. Tidak pergerakan. Tidak ada perkembangan.
Ketidakpuasan; Ketidaksempurnaan
Singkatnya, ketidakpuasan itu bagian dari sistem bertahan hidup manusia. Nenek moyang kita bisa bertahan bukan karena mereka puas, tapi justru karena mereka selalu merasa “kurang aman”. Mereka selalu merasa terancam.
Nenek moyang terus bergerak, mencari, dan beradaptasi. Sapiens berevolusi dari waktu ke waktu. Terus menjadi lebih baik karena didorong oleh ketiakpuasa, ketidaksempurnaan, ketidakpastian. Pola itu masih tertanam dalam diri kita sampai hari ini.
Ironisnya, di zaman yang serba cepat ini, dorongan untuk terus berkembang sering berubah jadi tekanan untuk menjadi sempurna. Kita lupa bedanya bertumbuh dengan memaksa diri.
Ironisnya, di zaman yang serba cepat ini, dorongan untuk terus berkembang sering berubah jadi tekanan untuk menjadi sempurna. Kita lupa bedanya bertumbuh dengan memaksa diri.
Ketidakpuasan ≠ Ketidaksempurnaan
Kita semua sering terperangkap dalam pemikiran ini; Menjadi sempurna sering kita artikan sebagai titik akhir. Sudah sampai. Sudah lengkap. Sudah nggak perlu proses lagi. Padahal, kalau benar-benar sempurna, mungkin hidup malah berhenti di situ. Tidak ada ruang belajar. Tidak ada ruang salah. Tidak ada cerita.
Ibarat cerita petualangan, kalau tokohnya langsung sampai tujuan di episode pertama, ceritanya jadi hambar. Kita sudah sampai di Laugh Tale, dapat One Piece, tamat. Lah, kok malah jadi bahas cerita Luffy? Oke, balik ke laptop.
Ibarat cerita petualangan, kalau tokohnya langsung sampai tujuan di episode pertama, ceritanya jadi hambar. Kita sudah sampai di Laugh Tale, dapat One Piece, tamat. Lah, kok malah jadi bahas cerita Luffy? Oke, balik ke laptop.
Cerita sederhana paling mengena kenapa kita tidak perlu menjadi sempurna bisa didapatkan dari kisah pohon. Idealnya, semakin tinggi sebuah pohon, semakin cepat pula pertumbuhannya. Semakin tinggi suatu pohon, semakin mudah juga baginya mendapat sinar matahari untuk fotosintesis. Kemudian, muncul pikiran bahwa pohon yang sempurna adalah pohon yang tinggi menjulang.
Tapi, kita lupa, semakin tinggi sebuah pohon, semakin mudah ia roboh didorong angin. Semakin tinggi suatu pohon, semakin besar pula kemungkinan ia tersambar oleh petir.
Begitu juga manusia. Ungkapan paling sederhana mungkin adalah judul buku karya Eka Kurniawan; Cantik itu Luka. Kesempurnaan kecantikan yang kita kejar itu begitu berat. Tak boleh ada bintik, tak boleh ada noda, tak boleh ada flek di kulit. Cantik itu harus sempurna. Tapi, seberapa banyak pengorbanan yang harus kita keluarkan? Seberapa banyak biaya yang dibutuhkan untuk perawatan. Seberapa banyak kegiatan yang harus kita hindari agar cantik itu tidak cacat?
Begitulah, kita tidak perlu mengejar sebuah kesempurnaan. Apa yang kita miliki adalah yang terbaik untuk kita. Terkadang, menjadi kurang adalah jawaban terbaik dibandingkan sebuah kesempurnaan.
Kita Tidak Perlu Menjadi Sempurna
Sekali lagi, kita tidak perlu menjadi sempurna. Begitupula di kehidupan sehari-hari, kita tidak perlu menjadi sempurna untuk tetap berharga. Kita boleh ambisius, boleh perfeksionis di momen tertentu. Tapi kita juga perlu tahu kapan harus mengendurkan genggaman. Tidak semua hal harus berjalan sesuai rencana. Tidak semua hasil harus maksimal.
Seperti saat bermain layangan. Ada kalanya kita perlu mengendurkan senar agar layangan bisa terbang tinggi, ada kalanya pula kita perlu menarik senar itu. Supaya layangan itu tidak lepas dan terbang bebas tanpa arah.
Ada kalanya, yang terbaik adalah berhenti sejenak dan bernapas. Mengakui bahwa ekspektasi kita terlalu tinggi. Mengakui bahwa kita sedang lelah. Itu bukan tanda lemah. Justru itu bentuk kejujuran pada diri sendiri.
Menurunkan ekspektasi bukan berarti menyerah. Itu cara memberi ruang agar kita tetap waras. Karena hidup bukan lomba kesempurnaan. Hidup itu proses panjang yang penuh trial and error.
Kita sering lupa bahwa kebahagiaan tidak selalu datang dari pencapaian besar. Kadang, kebahagiaan hadir saat kita berdamai dengan kondisi sekarang. Saat kita berhenti membandingkan diri dengan orang lain. Saat kita sadar bahwa setiap orang punya peran berbeda dalam sistem besar bernama masyarakat.
Ada yang bersinar di depan. Ada yang bekerja dalam senyap. Ada yang cepat. Ada yang pelan. Semuanya sah. Kita berhak untuk menjadi orang biasa. Manusia sederhana yang melengkapi sistem kompleks bernama masyarakat.
Kita tidak perlu menjadi sempurna agar pantas dicintai, dihargai, atau merasa cukup. Kita hanya perlu menjadi manusia yang mau belajar, mau bertumbuh, dan mau menerima bahwa hidup memang tidak selalu rapi.
Dan mungkin, justru di situlah letak keindahannya. Kita tidak sempurna. Dan memang seharusnya begitu.
Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan manusia dijadikan bersifat lemah.
Ada kalanya, yang terbaik adalah berhenti sejenak dan bernapas. Mengakui bahwa ekspektasi kita terlalu tinggi. Mengakui bahwa kita sedang lelah. Itu bukan tanda lemah. Justru itu bentuk kejujuran pada diri sendiri.
Menurunkan ekspektasi bukan berarti menyerah. Itu cara memberi ruang agar kita tetap waras. Karena hidup bukan lomba kesempurnaan. Hidup itu proses panjang yang penuh trial and error.
Kita sering lupa bahwa kebahagiaan tidak selalu datang dari pencapaian besar. Kadang, kebahagiaan hadir saat kita berdamai dengan kondisi sekarang. Saat kita berhenti membandingkan diri dengan orang lain. Saat kita sadar bahwa setiap orang punya peran berbeda dalam sistem besar bernama masyarakat.
Ada yang bersinar di depan. Ada yang bekerja dalam senyap. Ada yang cepat. Ada yang pelan. Semuanya sah. Kita berhak untuk menjadi orang biasa. Manusia sederhana yang melengkapi sistem kompleks bernama masyarakat.
Kita tidak perlu menjadi sempurna agar pantas dicintai, dihargai, atau merasa cukup. Kita hanya perlu menjadi manusia yang mau belajar, mau bertumbuh, dan mau menerima bahwa hidup memang tidak selalu rapi.
Dan mungkin, justru di situlah letak keindahannya. Kita tidak sempurna. Dan memang seharusnya begitu.
يُرِيدُ ٱللَّهُ أَن يُخَفِّفَ عَنكُمْ ۚ وَخُلِقَ ٱلْإِنسَٰنُ ضَعِيفًا
Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan manusia dijadikan bersifat lemah.
Referensi:
- Baumeister, R. F., Bratslavsky, E., Finkenauer, C., & Vohs, K. D. (2001). Bad is stronger than good. Review of General Psychology, 5(4), 323–370. https://doi.org/10.1037/1089-2680.5.4.323
- Housel, Morgan. Same as Ever: A Guide to What Never Changes. New York: Portfolio/Penguin, 2023.
- https://www.psychologytoday.com/us/blog/automatic-you/202207/why-its-so-hard-ever-feel-satisfied
- https://www.nirandfar.com/why-you-are-never-satisfied/
- https://tafsirweb.com/1560-surat-an-nisa-ayat-28.html
0 Komentar
Anda bebas berkomentar selama tidak mengandung unsur SARA dan PORNOGRAFI. Selamat berbagi pendapat dan berdiskusi di kolom komentar ini.
Orang baik berkomentar dengan baik.
Jadilah komentator yang baik.